Jumat, 17 Juni 2011

Cinta yang Tak Terduga

di 11.42
Cinta Yang Tak Terduga

Takbir berkumandang begitu syahdu, semua orang Islam merayakan kemenangan mereka setelah berpuasa satu bulan penuh, tak terkecuali aku dan keluarga yang ikut mereyakan juga. Sungguh indah alunan takbir itu, meneduhkan hati dan mententramkan jiwa setiap orang yang mendengarnya. Pujian yang mengagung-agungkan kebesaran Allah.
Malam itu aku melamun dikamar, karena memang itu yang biasa aku lakukan disaat tidak ada teman yang menemani. Tiba-tiba HP ku berbunyai dan membuyarkan lamunanku, one message “Assalamu’alaikum, ini fivi????” dari nomer yang tidak aku kenal, karena penasaran akupun membalasnya, “Wa’alaikumsalam, ya betul, ini siapa?????” sent message , tak lama kemudian datang sms dari dia, “aku Dika temannya Deni, boleh kenalan gak????” aku kaget, dalam hati aku bergumam Temennya Deni??? Aku saja sudah tidak memikirkain lagi dia dimana, setelah dia menghilang entah kemana, eh malah sekarang temennya yang nongol, hmmmmm..... karena malas aku tidak menghiraukan sms tadi, sampai akhirnya aku tertidur dikamar.
Adzan subuh sudah berkumandang, ibuku membangunkanku untuk melaksanakan sholat subuh, karena hari ini hari raya idul fitri aku tidak melanjutkan tidur lagi seperti biasanya, maklum karena memang kerjaku masuk siang. Aku mempersiapkan baju yang akan ku kenakan untuk sholat idul Fitri.
Seusai sholat aku pulang dan meminta maaf kepada orang tua, saudara, dan keluarga yang lainya, karena ini memang adat yang biasa dilakukan waktu hari raya. Terdengar HP ku berbunyi, ada sms dari nomer yang kemarin “Assalamu’alaikum, minal ‘aidzin wal fa ‘idzin mbk fivi, maaf ganggu dari Dika”, “Wa’alaikumsalam, ya sama-sama” sent message, setelah itu dia menelfonku sekedar berbincang-bincang dan berkenalan.
Pertemanan kita pun lanjut sampai berbulan-bulan, aku merasakan kenyaman berteman sama dia, meskipun kita tidak pernah ketemu dan hanya berkomunikasi lewat dunia maya. Tepat di ulang tahunku yang ke-22 dia mengajakku ketemuan di salah satu tempat pariwisata di Malang. Tanpa berfikir panjang aku pun menyetujui ajakannya. Hari ini hari yang menegangkan buat aku, karena aku akan bertemu dengan seseorang yang misterius, hampir lima belas menit aku menunggu tapi dia tak kunjung datang, akhirnya selang beberapa menit dia datang, “Hai fi, maaf membuatmu menunggu lama, tadi ada urusan sebentar”, dengan kaget dan jantung berdetak kencang aku memandangi orang yang ada di hadapanku sekarang, aku bergumam dalam hati Oh, my God, inikah cowok yang selama empat bulan menjadi teman didunia mayaku, ganteng banget. Sambil menjabat tangan aku memberi salam pada dia, agar dia tidak melihat kesalah tingkahan ku, aku lansung mempersilahkan dia untuk duduk, “terima kasih, sudah makan???” ujar Dika.
“Hmmmm....belum nunggu kamu”, kataku.
“Oh, ya sudah aku pesenin ya, mau pesan apa???
“Terserah kamu aja!!!! Dalam hati aku berkata Karena aku lagi malas makan, kenyang sudah rasanya setelah melihat ketampanan dia, Astaghfirullah, apa yang aku lakukan, maafkan hamba-Mu ini ya Allah, aku tersadar bahwa aku telah memikirkan yang tidak-tidak tentang cowok yang ada dihadapanku sekarang.
“Oke, terserah aku ya??? Kalau aku pesennya Cuma es aja gak apa-apa kan???” sambil tertawa kecil dia membuyarkan lamunanku.
“Iya, gak apa-apa asal tega aja melihat aku kelaparan” aku pun membalas gurauan dia, karena aku tak ingin kalah dengan dia.
Sambil menunggu pesanan kita berbincang-bincang sebentar, bertukar pengalaman, dan kisah-kisah lucu, ternyata Dika anak yang taat beribadah juga, aku makin nyaman berteman dengan dia. “Kamu cantik fi, beruntung sekali cowok yang akan memilikimu nantinya” ujar Dika yang memotong gurauan kita, aku kaget dengan ucapan itu, dalam hati aku senang, karena seorang Dika yang tampan dan cool abis memujiku. Aku gak tau, itu hanya basa-basi biar aku senang apa beneran, “Bisa saja kamu Dik, orang jelek gini kok di bilang cantik” kataku. Tak lama kemudian pesanan kita datang, dua mangkok bakso Malang dan dua gelas lemon tea, ternyata dia pesan makanan yang aku suka.
Setelah makan kita jalan-jalan disekitar tempat pariwisata, kota yang sejuk dan begitu elok, aku tak akan penah bosan untuk berkunjung ke kota ini. Tak terasa hari sudah sore, aku berpamitan pulang ke Dika
“Dik, sudah sore aku balik dulu ya? Kapan-kapan kamu yang main ke Surabaya”, ujarku,
“Insyaallah, kamu tadi naik apa??? Tak antar ya???” kata Dika.
“Gak usah repot-repot tadi aku naik kereta, aku juga sudah pesan tiket kok” jawabku.
“Hmmmm, oke hati-hati dijalan ya?”
“Oke, sampai jumpa,Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”. Dan aku pun pergi meninggalkan Dika, sesampainya dirumah aku kaget karena di ruang tamu ada satu bungkus kado yang besar. “Ibu, ini kado dari siapa?” tanyaku pada ibu. “Ibu gak tau, tadi ada kurir yang antar katanya disuruh buka saja didalamnya ada nama terangnya kok, buka saja sekarang ibu juga penasaran!” jawab ibu. Setelah aku buka dan ternyata boneka teddy bear besar, dari Dika. Kku senang plus kaget, sudah lama aku menginginkan boneka ini.
Setelah pertemuan itu aku semakin dekat sama Dika, dia sering main ke Surabaya. Pertemanan kita begitu dekat seperti orang yang sudah pacaran, tapi sampai saat ini Dika belum juga menyatakan cintanya. Ingin sekali aku menyatakannya tapi, karena egoku yang begitu besar akupun mengurungkan niatku. Hingga suatu malam Deni datang kerumah, dia temanku sekaligus teman Dika yang sudah berapa lama dia tidak pernah muncul dihadapanku, “Fi, aku ingin minta maaf sama kamu karena baru sekarang aku baru berani menemuimu aku.......”, “Sudahlah Den, apa yang kamu ingin dariku lagi, kamu tidak puas setelah apa yang kamu perbuat terhadapku” kataku sambil memotong pembicaraan Deni, “Maka dari itu aku datang kesini, dengar dulu penjelasanku, aku pergi darimu karena suatu hal, ayah menjodohkanku dengan wanita lain, aku tidak bisa menolaknya karena ayah sedang sakit. Dan karena aku tidak mau kamu sakit hati, aku pergi tanpa mengabarimu lagi, aku minta maaf Fi??”, “Aku tidak tahu Den apa maumu, kenapa kamu bilang sekarang tentang masalahmu, setelah hati ini terluka begitu dalam, sekarang aku sudah bahagia dengan lelaki yang kamu kirimkan padaku,” sambil terisak-isak aku bicara dengan Deni karena dia yang menyebabkan semua ini, “Dika? Aku sengaja menyuruh dia untuk berkenalan denganmu, karena aku tidak mau kamu berlarut-larut dalam kesedihan, aku tidak menyangka kalau semuanya bisa seperti ini, sampai saat ini aku masih mencintaimu Fi, aku tidak jadi menikah dengan wanita pilihan ayahku”, “Kenapa?” tanyaku. “Pada waktu pertunangan dia kabur dengan pacarnya”, aku hanya tertunduk diam. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, akhirnya aku pergi meninggalkan Deni. Malam itu aku tidak bisa tidur, memikirkan ucapan Deni. Seandainya dulu dia bilang sejujurnya pasti hari ini aku masih bisa menerima dia kembali, tapi hati ini sudah memilih Dika.
Pagi-pagi aku pergi menemui Dika untuk menceritakan semuanya, aku datang kerumah tantenya Dika, tapi aku tidak menjumpainya aku telpon beberapa kali tak juga bisa, aku semakin bingung dengan semua ini, apa ini hanya permainan mereka saja? Aku semakin gelisah, setega itukah mereka pedaku. Dua hari sudah aku tak mendengar kabar Dika, aku ingin pergi kerumahnya, tapi tantenya tak memberikan alamat. Siang itu aku pergi menemui Deni di rumahnya, aku ingin mengetahui keberadaan Dika, sesampainya dirumah akupun mengetuk pintunya, wanita separuh baya datang menghampiriku, ”Permisi, Deni ada? Kataku kepeda wanita itu, wanita itu hanya menganggukan kepala tanpa mengucapkan sepatah katapun lalu pergi meninggalkanku, tak lama kemudian Deni datang, “Siang Den, lagi sibuk?” tanyaku, “Oh gak kok, silakan masuk!” jawab Deni sambil menyuruhku untuk duduk diruang tamu.
“Aku hanya ingin tanya keberadaan Dika, dia tidak bisa dihubungi aku khawatir dengan keberadaan dia sekarang, yang tiba-tiba menghilang, apa aku punya salah sama dia? Aku bingung Den....”,
(sambil menghela nafas) ”Begini Fi, kemarin aku dengar kabar kalau dia akan bertunangan lusa dengan orang yang sudah dipilihkan oleh orang tuanya, maafkan aku Fi, aku sudah membuatmu jadi seperti ini” ucap Deni.
Aku sontak terkaget dengan ucapan Deni “Apa tunangan?kamu serius?” aku menangis seketika itu, apa salahku? Kenapa disaat aku menyukai seseorang dia pergi begitu saja meninggalkanku.
“Sudahlah Fi, jangan pikirkan lagi Dika mungkin dia bukan jodohmu, kembalilah padaku, aku janji aku akan membahagiakanmu”.
“Kalau kamu memang ingin aku bahagia, pertemukan aku dengan Dika sekarang juga!” aku memaksa Deni untuk mengantarkan aku menemui Dika.
“Baiklah”, aku senang mendengar jawaban Deni, dia tidak berubah, dia masih seperti Deni yang aku kenal, baik dan tidak egois.
Siang itu juga kita berangkat ke Malang, tapi Deni tidak membawa aku kerumah Dika, dia menyuruh aku untuk menunggunya disebuah taman dipinggiran kota. Tidak lama kemudian Deni datang dengan Dika. “Dika....kamu kemana saja?” tanyaku kepada Dika, rasa kangen ingin sekali aku memeluk dia. “Maafkan aku Fi, aku..... Den bisa tinggalkan kita” kata Dika sambil menyuruh Deni untuk meninggalakan kita. “Fi aku minta maaf, seperti apa yang sudah dikatakan Deni sama kamu, lusa aku akan bertunangan”, disaat itu juga aku meneteskan air mata “Apa salahku Dik? Kenapa di saat aku mencintai seseorang, aku selalu kehilangan dia, apa maksud semua ini?”, “Sekali lagi aku minta maaf Fi, tidak ada yang bisa aku lakukan, kalau aku tidak bertunangan dengan dia, aku akan kehilangan semuanya, aku harap kamu mengerti dengan keadaanku”, “Baiklah, terima kasih untuk semuanya” aku pergi meninggalkan dia tanpa menghiraukan panggilannya, apa dia tidak mempunyai hati untuk menyuruhku datang ke acaranya.
Aku pulang ke Surabaya sore itu juga bersama Deni, aku hanya menangis tanpa menghiraukan bahwa ada Deni disampingku. Sesampainya dirumah aku langsung masuk kamar, tanpa menyapa ibuku terlebih dahulu. “Sayang kamu kenapa? Buka pintunya izinkan ibu masuk” tanya ibu dibalik pintu, aku langsung mengusap air mataku dan segera membuka pintu, “Aku tidak apa-apa bu, hanya sedikit masalah saja” jawabku, “Walaupun sedikit katakanlah pada ibu”, karena ibu terus mendesakku akhirnya aku menceritakan masalahnya. “Apa salah anakmu ini, dulu aku sangat mencintai Deni, tapi dia tega meninggalkanku untuk orang lain, sekarang Dika juga seperti itu, aku tidak kuat bu” aku mencurahkan semua isi hatiku, sambil menangis dipangkuannya, “Sabar sayang, mungkin mereka tidak baik untuk kamu, pasti Allah mempunyai rencana yang lebih baik utukmu, ini tadi ada surat dari Dika kamu baca dulu!”, aku pun langsung membukanya.























Hatiku terasa sakit membaca surat itu, karena sebenarnya aku sangat mencintainya, Deni sudah tidak ada lagi dipikiranku, hanya Dika, dia yang selalu menghiburku, dia ada saat aku senang maupun sedih, dia juga yang sudah menyembuhkan Luka hati ini. Tapi kenapa dia bertunangan? Apakah secepat itu dia menemukan penggantiku? Gumamku dalam hati.
“Bu, tapi kenapa Dika bertunangan? Kalau memang dia benar-benar mencintaiku” ucapku, sambil meneteskan air mata. “Sudah sayang, tenanglah kamu serahkan semuanya pada Allah, bersabarlah!” kata ibu untuk menenangkanku.
Keesokan harinya aku pergi menemui Deni untuk meminta kejelasan semua ini. Aku marah sama dia, karena dia yang menyebabkan Dika pergi meninggalkanku, aku tidak bisa begitu saja menerima semua ini, aku harus memperjuangkan cintaku. Aku janjian dengan Deni di sebuah taman,
“Den apa maksud semua ini?” tanyaku pada Deni,
“Aku gak ngerti apa yang kamu bicarakan?” ucapnya
“Jangan pura-pura gak ngerti ya? Aku sudah tahu semuanya, kamu menyuruh Dika bertunangan dengan orang lain, agar kamu bisa balikan lagi sama aku, begitu? Jahat kamu Den” jawabku sambil marah-marah dengan dia.
“Fi, aku gak pernah menyuruh Dika untuk tunangan, itu semua kemauan dia sendiri. Oke, aku memang cinta sama kamu, tapi......”
Aku langsung memotong pembicaraan Deni, “Tapi apa? Kamu mau alasan apa lagi, aku sudah gak bisa lagi sama kamu, kamu ngerti gak sih?”
“Gak bisa kenapa Fi? Kita bisa memulainya dari awal, lupakan Dika!”
“Apa kamu bilang? Lupakan Dika? Kamu yang membuat aku cinta sama dia, sekarang kamu meminta aku melupakannya, kamu sudah gila?”
“Aku memang sudah gila (sambil membentak-bentak aku), aku gila karena kamu Fi, aku tidak bisa melupakanmu, aku mohon kembali sama aku Fi! Aku mohon!”
Sekilas orang-orang yang berada di taman memperhatikan aku sama Deni, karena ucapan Deni yang sangat keras.
“Aku gak nyangka kamu jadi seperti ini Den, kamu tega mengorbankan sahabatmu sendiri, demi kebahagianmu, Dika rela bertunangan dengan orang lain yang tidak dia cintai demi kamu, kamu tahu itu? Ini surat dari Dika kamu baca!”
Deni langsung membaca surat itu, tapi aku bingung kenapa ekspresi wajahnya biasa-biasa saja, ada apa dengan semua ini?
“Kamu percaya dengan surat ini? Kalau dia mencintaimu dia tidak akan bertunangan dengan orang lain” ujar Deni.
Aku hanya terdiam, aku tidak bisa berbuat apa-apa, surat itu aku ambil dari Deni dan langsung meninggalkannya. Air mataku seakan tidak bisa berhenti, aku menangis sepanjang malam.
Malam itu aku memutuskan untuk tinggal di rumah nenekku di malang, aku ingin menenangkan hatiku, dan mencoba menyembuhkan luka hatiku. Hari demi hari aku lalui, tapi aku tidak bisa melupakannya, hingga suatu hari Dika datang menemuiku. Entah dari mana dia tahu alamat nenekku.
“Fi, bagaimana kabarmu?” tanya Dika
“Buat apa kamu datang kesini? Kalau hanya membawa luka yang semakin parah dalam hatiku” ucapku dan tak terasa air mataku mengalir begitu saja, teringat sakit hati yang sudah dia lakukan kepadaku.
“Aku merindukanmu Fi, aku tidak bisa jauh darimu, aku sudah tidak perduli lagi dengan Deni, yang terpenting aku bisa bersamamu. Aku sudah mencoba mengikhlaskan, tapi aku tidak bisa, semakin sakit rasanya”
“Rasa sakitmu tidak akan sebanding dengan apa yang aku rasakan, kamu pergi dan kamu bertunangan dengan orang lain, kamu kira itu tidak menyakitkan buat aku?”
“Fi, aku mau kamu tahu sesuatu hal, aku sebenarnya tidak bertunangan”
Aku sontak terkaget, “Apa? Apa maksud semua ini? Permainan apa lagi yang akan kalian lakukan?” aku semakin marah pada Dika dengan apa yang dia ucapkan
“Dengarkan dulu penjelasanku, malam itu Deni datang kerumah dia meminta aku pura-pura bertunangan, agar dia bisa mendapatkanmu. Karena aku mempunya utang budi sama dia , aku menuruti kemauannya” dia mencoba menjelaskannya kepadaku,tapi aku tetap tidak bisa begitu saja mempercayainya.
“Sudah selesai penjelasannya? Sekarang aku minta kamu pergi dari sini! Pergi!” aku mengusir dia, aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini, semua hanyalah permainan mereka saja.
“Fi aku mohon mengertilah!” Dika terus memohon, tapi aku tidak mau mendengarkannya lagi. Akhirnya dia pergi meninggalkanku.
Sudah satu bulan aku berada di rumah nenekku, tapi aku tidak bisa sedikitpun melupakannya. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Surabaya dan melanjutkan hidupku, tak ada gunanya lagi aku memikirkan mereka. Aku kembali bekerja, karena aku berpikir dengan bekerja aku bisa sedikit demi sedikit melupakan masalahku.
Hingga pada suatu hari, orang tua Dika datang ke rumah, “Mohon Maaf sebelumnya bapak ibu, ada apakah gerangan kok malam datang ke rumah kami” tanya bapakku, “ Sebelumnya kami mohon maaf, apabila kedatngan kami mengganggu bapak sekeluarga, kami adalah orang tua dari Dika, kami kesini bermaksud untuk melamar anak bapak Fivi”, sontak aku dan kedua orang tuaku kaget, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba saja datang dan melamarku, aku yang mendengar dari dapur langsung keluar, “Maaf tante dan Om saya tidak bisa menerimanya” ucapku, karena aku masih tidak bisa terima dengan perlakuan Dika. Dan tiba-tiba dari balik pintu muncul Deni dan Dika, aku bertanya dalam hati apalagi yang mereka inginkan, belum cukupkah mereka menyakitiku?. “Buat apa lagi kalian kesini, belum puas juga menghancurkan hidupku?” ucapku, sambil memarahi mereka. “Fi, aku pribadi meminta maaf sama kamu, Dika gak salah aku yang salah, aku yang meyuruh dia untuk berkenalan denganmu, dan aku juga yang menyuruh dia untuk meninggalkanmu” ujar Deni, “Sekarang apa mau kamu? Kamu mau aku menikah dengan Dika, lalu menyuruh dika meninggalkanku, dan akhirnya kamu menyuruh orang lain untuk masuk dalam hidupku, wah hebat sekali rencanamu” aku sudah tidak tahan lagi dengan mereka, rasanya aku ingin sekali membunuh mereka. “Tenang sayang, tenangkan dirimu!” ujar ibuku untuk menenangkanku. “Bukan seperti itu mauku Fi, aku......” jawab Deni, “Sudah, sudah janganlah ini dibicarakan dengan hati yang panas, tidak akan selesai masalahnya, mari kita bicarakan dengan kepala dingin” ucap bapakku yang memotong pembicaraan Deni.
Malam itu seperti malam yang buruk, setelah aku berdebat dengan Deni akhirnya aku bisa menguasai diriku untuk tidak lagi berbicara kasar pada mereka. Bapakku meminta agar ini semua dibicarakan dengan kepala dingin dan aku menurutinya. Aku tidak lagi bersuara, hanya orang tua Dika dan orang tuaku yang berbicara. Setelah berbincang-bincang lama dan jelas permasalahannya ada pada Deni yang sudah merencanakan ini semua, entah apa yang dia mau, tapi aku bersyukur kini dia sadar dan membuat semuanya kembali membaik. “Oke, Fivi gimana kamu mau menerima lamarannya Dika?” tanya bapakku, aku bingung mau menjawab apa, aku masi merasa kesal sama Dika, karena dia menurut saja sama Deni. Tapi aku sebenarnya masih sayang sama dia, meskipun aku sudah mencoba untuk melupakanny, tapi tetap saja tidak bisa. Semua yang di ruang tamu terdiam menunngu jawabanku, “Hmmmm, terserah bapak dan ibu saja” aku lalu pergi meninggalkan ruang tamu, aku malu mau mengatakan iya, akhirnya aku menyerahkan semuanya pada orang tuaku. Didalam kamar aku mendengar “Karena Fivi menyerahkan semuanya pada kami, kami meminta nak Dika bersabar sampai lusa untuk menunngu jawaban dari kami, bagaimana bisa diterima?” ujar bapakku, syukurlah bapak begitu bijaksana memutuskannya. kenapa bapak tidak langsung menerimanya? gumamku dalam hati. Dika sekeluarga pergi setelah menyetujui keputusan bapak.
Dua hari kemudian bapak menghubungi keluarga Dika kalau aku setuju menikah dengan Dika dengan beberapa pertimbangan. Seminggu setelah itu aku dan Dika bertunangan, dan tidak berselang begitu lama kita melangsungkan pernikahan kita, pernikaha yang sederhana. Karena aku tidak mau ada pesta besar-basaran seperti apa yang di inginkan orang tua Dika, hanya ada lima ratus tamu yang di undang. Malam itu begitu meriah, aku sangat bahagia, akhirnya orang yang benar-benar aku sayangi kini berada di sampingku dan akan menjadi imam bagiku dan anak-anakku kelak.

Jangan biarkan cintamu menghilang begitu saja
Jangan biarkan orang lain merebut cintamu
Dan jangan biarkan cintamu merasakan sakit hati

Cinta bukan sesuatu yang harus dipasrahkan
Tetapi harus di perjuangkan
Cinta harus dimiliki
Bukan tak harus memiliki

0 komentar:

Posting Komentar

 

A Dreams Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea