"Pyaaaaaak..." Suara gelas yang
aku pecahkan tanpa sengaja. Malam ini begitu dingin, pikirku tak tenang, mataku
tak jua terlelap. Aku tak sampai hati melihat bapakku terbaring tak berdaya
dikamarnya. Seandainya aku bisa mengambil rasa sakitnya, pasti beliau tak akan
merasakan sakit.
"Kamu ndak pulang ta?" Suara
bapak pelan dan pilu.
"Enggeh, sebentar lagi, sampean tidur
dulu terus saya pulang" jawabku.
"He'em, sudah malam".
Akhirnya beliau terlelap, nafasnya tak
beraturan, aku tak tega melihatnya. Aku pun membiarkan beliau tidur dan aku
pulang ke rumah kakakku. Aku meyakinkan diri, bahwa beliau pasti akan sembuh
dan kembali bersama keluarga tercinta. Malam itu aku bisa tidur, pikirku terus
pada bapak, aku takut terjadi apa-apa dengan beliau. Akhirnya aku bisa
terlelap, entah kenapa tidurku sangat nyenyak, sampai tak mendengar apapun,
sedangkan orang rumah pada ramai.
12.35 AM
“Fidah, bangun” suara kakakku
membangunkanku, aku masih belum sadar, ada apa ini? Kenapa aku dibangunkan?
“Kenapa mbak??” disuruh bapak kerumah.
Aku bangun dengan segera, aku berlari dari
rumah kakakku menuju rumah orang tuaku. Pikirku tak tenang, ada apa ini?? Ada apa
dengan bapak?. Sesampainya rumah aku kaget, kenapa banyak orang? Apa yang
terjadi. Aku langsung masuk kerumah, ku melihat kakakku membaca Al-qur’an
disamping bapak yang tak sudah tak sadarkan diri. Aku jatuh, badanku lemas, air
mataku mengalir deras. Apa yang terjadi dengan bapak? Saat aku tinggal tadi
beliau tak apa-apa, kenapa jadi begini?? Apa rencana Tuhan? Aku menangis tanpa
henti, pikirku tak karuan, aku tak mau kehilangannya, aku masih belum bisa
membahagiakannya, aku bisa menuruti semua keinginannya.
03.00 AM
Malam itu juga beliau dibawa kerumah
sakit, aku berharap Tuhan masih mengizinkannya untuk bernafas lagi. Akhirnya beliau
tertolong dengan bantuan oksigen. Semua kakakku pulang, hanya tinggal aku dan
ibu. Karena seharian menunggu bapak, aku menyuruh ibu untuk tidur, dan aku yang
menjaga bapak.
06.00 AM
Bapak bangun, matanya terlihat sayu,
nafasnya masih belum stabil.
“Nduk, bapak lapar” suaranya pelan.
“Enggeh pak, sebentar lagi makanan rumah
sakit datang, sabar nggeh” jawabku untuk menenangkannya.
“Tapi bapak ndak kuat nduk, bapak lapar”
ucapnya kembali, aku menangis dalam hati, aku tak tega melihatnya kesakitan. Akhirnya
aku menemui perawa rumah sakit untuk menanyakan apakah boleh memberi makan
bapak nasi, tapi perawat itu melarangnya, malah meyuruhku untuk menunggunya. Aku
kembali ke kamar bapak.
“Mana nduk, sudah datang makanannya?”
Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Aku
tak mampu untuk menjawab pertanyaannya.
“Kalau gitu, pulang aja ya? Bapak pengen
istirahat dirumah, disini sumpek” pintanya padaku.
“Iya, nanti ya pak. Kalau bapak sudah
sembuh baru boleh pulang, bapak aja belum diperiksa sama dokternya hari ini”
jawabku seadanya.
Beliau terdiam, seperti memikirkan
sesuatu. Ku pandangi wajahnya yang pucat, badannya yang kurus dan hanya tinggal
tulang. Kemana aku selama ini? Sampai beliau mempunyai penyakit aku tak tau. Kemana
aku saat meliau merintuih kesakitan.
“Bapak memikirkan apa?” tanyaku padanya.
“Ndak, bapak cuma kepikiran rumah”
“Kenapa memangnya?”
“Ibumu makan apa kalau bapak ndak kerja?”
Ya Allah, dalam keadaan seperti itu beliau
masih memikirkan hal itu. Aku menangis dalam hati, begitu sayangnya beliau
kepada keluarganya.
“Ndak usah dipikir pak, kan ada mbak seh
sama mbak ita”
“Oh, ya sudah kalau gitu. Bapak itu kalau
jualan es sering di hina orang”
“Di hina??”
“Iya, katanya jualan es segitu, memang
bisa menghidupi keluarga ya? Memang dapat untuk berapa?”
“Bapak, usaha apapun itu ndak masalah,
yang penting kan halal, anak-anaknya bisa makan dan sekolah. Buktinya sekarang
aku bisa kuliah, semua karena pengorbanan dan doa sampean”
“Oh iya, piye sekolahmu nduk? Sekolah seng
pinter, gak usah aneh-aneh, setiap sholat bapak dunga’no sampean biar sukses”
“Enggeh, Amin. Makanya sampean ndang
sembuh, biar ntar melihat aku lulus ya?”
“He’em, kadang bapak itu gak enak sama
mbakmu”
“kenapa pak?”
“Iya mbakmu itu anak’e bapak, tapi
suaminya itu kan bukan? Bapak ndak enak kalau kerumah sakit, nanti mbakmu
kesusahan”
“Ya Allah, bapak. Ndak boleh berfikiran
seperti itu, sampean berobat iki, karena mbak pengen sampean sembuh, kok malah
mikirnya gitu”
“Iya bapak ngerti, tapi bapak wes ndak
kuat nduk, bapak bawa pulang aja, lebih tenang dirumah”
“Enggeh, nanti kalau boleh pulang sama
dokter, pulang ya?”
“Iya, wes bapak mau tidur capek. Sampean
tiduro, dari tadi gak tidur gitu”
“Enggeh, wes sampean tidur dulu”
Akhirnya beliau tertidur. Ku pegang
tanyannya yang hanya tinggal belulang. Hanya satu bulan beliau sakit, tapi
sudah merubah semuanya. Badannya semakin kecil, jalannya tak sekuat dulu. Membutuhkan
bantuan ketika kemana-mana.
Sore hari kakakku datang, aku memutuskan
pulang kerumah untuk mengambil bebepara keperluan yang tertinggal. Rencannya aku
akan kembali malamnya, dan tidur dirumah sakit.
“Bapak, aku pulang dulu ya?”
“Lapo sampean pulang?”
“Ngambil baju, nanti malam balik kesini
lagi, nggeh?”
“Iya, ati-ati di jalan, gak usah ngebut”
Sesampai dirumah kuceritakan semua yang
dibilang bapak pada kakakku, aku bilang kepada mereka bahwa bapak sudah kembali
normal, dan bisa berbicara dengan lancar lagi. Semua tersenyum mendengar kabar
dariku. Setelah mandi aku memutuskan untuk makan, karena seharian aku belum
makan apapun. Setelah makan Handphoneku berdering, kakakku yang menemani bapak
menelpon kalau bapak dari tadi pengen pulang dan sekarang keadaanya kritis
lagi.
Pikiranku kembali kacau, ada apa dengan
bapak? Tadi beliau tak tinggal pulang baik-baik saja. Kenapa mendadak kritis
lagi. Kedua kakakku segera kesana, karena aku baru aja pulang, aku diminta
untuk dirumah saja. Sebenarnya aku ingin kesana, tapi bagaimana? Aku harus
menjaga adikku.
10.00 PM
Kakak iparku datang, aku disuruh kesana. Bapak
tak sadarkan diri sejak sore tadi. Aku menangis diperjalanan, aku berdoa dalam
hati, semoga bapakku masih diberi kesempatan sama Allah untuk bernafas lagi. Sesampainya
disana aku menangis sejadi-jadinya, bapakku tak sadarkan diri, tanganya tak
bergerak lagi. Hanya nafasnya yang tersisa. Aku menangis dalam pelukan ibu, aku
tak mau kehilangannya, aku juga tak mau beliau merasakan sakit.
Ya Allah, aku menyerahkan semuanya padamu,
jika memang sudah waktunya, ambilah beliau, dari pada harus merasakan sakit, doaku dalam hati. Tepat
tanggal 2 September 2012 jam 11.35 PM,
beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Aku menangis dan menangis, hanya
itu yang bisa aku lakukan, pelan-pelan aku menutup matanya, mencium tangannya
dengan linangan air mata. Beliau sudah pergi, aku tak bisa melihat senyumnya
lagi, mencium tanyanya yang lembut, mendengar suaranya yang lembut.
Belum ada hal yang aku lakukan untuk
beliau. Aku belum mampu mengembalikan senyumnya yang sudah lama hilang. Beliau sungguh
baik, sangat sayang padaku. Sekalipun beliau tak pernah memukulku apalagi
membentakku.
Aku sayang padamu bapak, terima kasih
untuk semua pengorbanan dan doamu, semoga engkau tenang disana dan mendapatkan
tempat lebih indah dari pada di dunia..........
20 September
2012
01. 35 PM
By : Pidoel
By : Pidoel

0 komentar:
Posting Komentar