Kamis, 20 September 2012

Sehari Bersamanya

di 13.46

"Pyaaaaaak..." Suara gelas yang aku pecahkan tanpa sengaja. Malam ini begitu dingin, pikirku tak tenang, mataku tak jua terlelap. Aku tak sampai hati melihat bapakku terbaring tak berdaya dikamarnya. Seandainya aku bisa mengambil rasa sakitnya, pasti beliau tak akan merasakan sakit.
"Kamu ndak pulang ta?" Suara bapak pelan dan pilu.
"Enggeh, sebentar lagi, sampean tidur dulu terus saya pulang" jawabku.
"He'em, sudah malam".
Akhirnya beliau terlelap, nafasnya tak beraturan, aku tak tega melihatnya. Aku pun membiarkan beliau tidur dan aku pulang ke rumah kakakku. Aku meyakinkan diri, bahwa beliau pasti akan sembuh dan kembali bersama keluarga tercinta. Malam itu aku bisa tidur, pikirku terus pada bapak, aku takut terjadi apa-apa dengan beliau. Akhirnya aku bisa terlelap, entah kenapa tidurku sangat nyenyak, sampai tak mendengar apapun, sedangkan orang rumah pada ramai.

12.35 AM
“Fidah, bangun” suara kakakku membangunkanku, aku masih belum sadar, ada apa ini? Kenapa aku dibangunkan?
“Kenapa mbak??” disuruh bapak kerumah.
Aku bangun dengan segera, aku berlari dari rumah kakakku menuju rumah orang tuaku. Pikirku tak tenang, ada apa ini?? Ada apa dengan bapak?. Sesampainya rumah aku kaget, kenapa banyak orang? Apa yang terjadi. Aku langsung masuk kerumah, ku melihat kakakku membaca Al-qur’an disamping bapak yang tak sudah tak sadarkan diri. Aku jatuh, badanku lemas, air mataku mengalir deras. Apa yang terjadi dengan bapak? Saat aku tinggal tadi beliau tak apa-apa, kenapa jadi begini?? Apa rencana Tuhan? Aku menangis tanpa henti, pikirku tak karuan, aku tak mau kehilangannya, aku masih belum bisa membahagiakannya, aku bisa menuruti semua keinginannya.

03.00 AM
Malam itu juga beliau dibawa kerumah sakit, aku berharap Tuhan masih mengizinkannya untuk bernafas lagi. Akhirnya beliau tertolong dengan bantuan oksigen. Semua kakakku pulang, hanya tinggal aku dan ibu. Karena seharian menunggu bapak, aku menyuruh ibu untuk tidur, dan aku yang menjaga bapak.

06.00 AM
Bapak bangun, matanya terlihat sayu, nafasnya masih belum stabil.
Nduk, bapak lapar” suaranya pelan.
“Enggeh pak, sebentar lagi makanan rumah sakit datang, sabar nggeh” jawabku untuk menenangkannya.
“Tapi bapak ndak kuat nduk, bapak lapar” ucapnya kembali, aku menangis dalam hati, aku tak tega melihatnya kesakitan. Akhirnya aku menemui perawa rumah sakit untuk menanyakan apakah boleh memberi makan bapak nasi, tapi perawat itu melarangnya, malah meyuruhku untuk menunggunya. Aku kembali ke kamar bapak.
“Mana nduk, sudah datang makanannya?”
Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Aku tak mampu untuk menjawab pertanyaannya.
“Kalau gitu, pulang aja ya? Bapak pengen istirahat dirumah, disini sumpek” pintanya padaku.
“Iya, nanti ya pak. Kalau bapak sudah sembuh baru boleh pulang, bapak aja belum diperiksa sama dokternya hari ini” jawabku seadanya.
Beliau terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Ku pandangi wajahnya yang pucat, badannya yang kurus dan hanya tinggal tulang. Kemana aku selama ini? Sampai beliau mempunyai penyakit aku tak tau. Kemana aku saat meliau merintuih kesakitan.
“Bapak memikirkan apa?” tanyaku padanya.
“Ndak, bapak cuma kepikiran rumah”
“Kenapa memangnya?”
“Ibumu makan apa kalau bapak ndak kerja?”
Ya Allah, dalam keadaan seperti itu beliau masih memikirkan hal itu. Aku menangis dalam hati, begitu sayangnya beliau kepada keluarganya.
“Ndak usah dipikir pak, kan ada mbak seh sama mbak ita”
“Oh, ya sudah kalau gitu. Bapak itu kalau jualan es sering di hina orang”
“Di hina??”
“Iya, katanya jualan es segitu, memang bisa menghidupi keluarga ya? Memang dapat untuk berapa?”
“Bapak, usaha apapun itu ndak masalah, yang penting kan halal, anak-anaknya bisa makan dan sekolah. Buktinya sekarang aku bisa kuliah, semua karena pengorbanan dan doa sampean”
“Oh iya, piye sekolahmu nduk? Sekolah seng pinter, gak usah aneh-aneh, setiap sholat bapak dunga’no sampean biar sukses”
“Enggeh, Amin. Makanya sampean ndang sembuh, biar ntar melihat aku lulus ya?”
“He’em, kadang bapak itu gak enak sama mbakmu”
“kenapa pak?”
“Iya mbakmu itu anak’e bapak, tapi suaminya itu kan bukan? Bapak ndak enak kalau kerumah sakit, nanti mbakmu kesusahan”
“Ya Allah, bapak. Ndak boleh berfikiran seperti itu, sampean berobat iki, karena mbak pengen sampean sembuh, kok malah mikirnya gitu”
“Iya bapak ngerti, tapi bapak wes ndak kuat nduk, bapak bawa pulang aja, lebih tenang dirumah”
“Enggeh, nanti kalau boleh pulang sama dokter, pulang ya?”
“Iya, wes bapak mau tidur capek. Sampean tiduro, dari tadi gak tidur gitu”
“Enggeh, wes sampean tidur dulu”
Akhirnya beliau tertidur. Ku pegang tanyannya yang hanya tinggal belulang. Hanya satu bulan beliau sakit, tapi sudah merubah semuanya. Badannya semakin kecil, jalannya tak sekuat dulu. Membutuhkan bantuan ketika kemana-mana.
Sore hari kakakku datang, aku memutuskan pulang kerumah untuk mengambil bebepara keperluan yang tertinggal. Rencannya aku akan kembali malamnya, dan tidur dirumah sakit.
“Bapak, aku pulang dulu ya?”
Lapo sampean pulang?”
“Ngambil baju, nanti malam balik kesini lagi, nggeh?”
“Iya, ati-ati di jalan, gak usah ngebut”
Sesampai dirumah kuceritakan semua yang dibilang bapak pada kakakku, aku bilang kepada mereka bahwa bapak sudah kembali normal, dan bisa berbicara dengan lancar lagi. Semua tersenyum mendengar kabar dariku. Setelah mandi aku memutuskan untuk makan, karena seharian aku belum makan apapun. Setelah makan Handphoneku berdering, kakakku yang menemani bapak menelpon kalau bapak dari tadi pengen pulang dan sekarang keadaanya kritis lagi.
Pikiranku kembali kacau, ada apa dengan bapak? Tadi beliau tak tinggal pulang baik-baik saja. Kenapa mendadak kritis lagi. Kedua kakakku segera kesana, karena aku baru aja pulang, aku diminta untuk dirumah saja. Sebenarnya aku ingin kesana, tapi bagaimana? Aku harus menjaga adikku.

10.00 PM
Kakak iparku datang, aku disuruh kesana. Bapak tak sadarkan diri sejak sore tadi. Aku menangis diperjalanan, aku berdoa dalam hati, semoga bapakku masih diberi kesempatan sama Allah untuk bernafas lagi. Sesampainya disana aku menangis sejadi-jadinya, bapakku tak sadarkan diri, tanganya tak bergerak lagi. Hanya nafasnya yang tersisa. Aku menangis dalam pelukan ibu, aku tak mau kehilangannya, aku juga tak mau beliau merasakan sakit.
Ya Allah, aku menyerahkan semuanya padamu, jika memang sudah waktunya, ambilah beliau, dari pada harus merasakan sakit, doaku dalam hati. Tepat tanggal 2 September 2012  jam 11.35 PM, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Aku menangis dan menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan, pelan-pelan aku menutup matanya, mencium tangannya dengan linangan air mata. Beliau sudah pergi, aku tak bisa melihat senyumnya lagi, mencium tanyanya yang lembut, mendengar suaranya yang lembut.
Belum ada hal yang aku lakukan untuk beliau. Aku belum mampu mengembalikan senyumnya yang sudah lama hilang. Beliau sungguh baik, sangat sayang padaku. Sekalipun beliau tak pernah memukulku apalagi membentakku.
Aku sayang padamu bapak, terima kasih untuk semua pengorbanan dan doamu, semoga engkau tenang disana dan mendapatkan tempat lebih indah dari pada di dunia..........




20 September 2012
01. 35 PM

By : Pidoel

0 komentar:

Posting Komentar

 

A Dreams Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea